Seni Merelakan dan Memperjuangkan
- Ivana Aimee
- Jan 3, 2024
- 3 min read
Updated: Jun 1, 2024

Photo by NEOM on Unsplash
Salah satu unsur menjadi dewasa adalah dengan mengasah seni merelakan sesuatu.
Let go of something, someone.
Pagi ini kami pergi dari Rumah Emak di Cikarang menuju daerah lainnya. Seperti biasa, emak akan menangis dan merengek karena kami akan pergi. Tangisannya singkat. Sebuah kesadaran bahwa harus menjalani kehidupan ini tidak bersama-sama dengan kami, muncul lagi. "Aku harus berdamai dengan hal ini, lagi." Mungkin seperti itulah.
Hari ini aku juga belajar untuk merela. Kemarin subuh, aku delete data whatsapp. Pikirku hanya foto dan video saja yang hilang. Terlalu naif dan dipenuhi asumsi, aku pencet. Semua terulang, ke-reboot. Semua chat hilang, file-file penting juga hilang, sticker yang aku gunakan untuk menunjukkan ekspresiku juga hilang. Memang kebodohanku kurang berhati-hati. Tapi dalam hal ini pun, aku belajar tidak terlalu mengerasi diri. Kesalahan terjadi, it's okay. Jangan menyalahkan diri terlalu keras. pun belajar memaafkan diri dan merelakan. Langkah selanjutnya adalah, mencari solusi untuk kehilangan-kehilangan. Beberapa file penting aku minta kembali kepada teman, dan sebagainya. Ya...
Aku juga lagi belajar merelakan... merelakan untuk tidak tahu menahu kabar orang yang aku sayangi....
ah sudahlah... begitulah...
Setelah perlu mengasah seni merelakan, perlu juga merengkuh realita.
Realitanya, kejadian nggak bisa diulang. Realitanya, yang sudah berlalu ya sudah berlalu. Realitanya, kamu masih bisa cari solusi dan tidak perlu terhanyut dalam lautan penyesalan. Realitanya, menangis, meskipun membantu melegakan, tapi nggak bisa selesaikan masalah; jadi menangislah seperlunya. Setelah merengkuh realita.. penting juga untuk berfokus pada penyelesaian masalah. Kalau ada suatu hal yang mengganjal, diselesaikan. Kalau sudah terlanjur dan melakukan kesalahan, apa selanjutnya yang bisa kamu benahi? Kalau kejadiannya harus berjalan seperti apa dan aku harus diam sebagai solusinya? Lakukanlah.
Semuanya ini perlu dilakukan, tetapi diawali dengan titik pijak, sebuah kerelaan. Kesadaran bahwa kita cuma manusia yang gak bisa memiliki semua, bahkan diri kita sekalipun adalah milikNya.. hal inilah yang membantu kita dapat mengasah seni merelakan suatu.
Merelakan, berarti, tahu diri.
Tapi supaya hidup gak gitu gitu amat. Merelakan harus disertai dengan perjuangan.
Memperjuangkan sampai titik mana, merelakan di titik mana.
Apalagi kalau masuk ranah relasi pasangan. Seperti pasir, kalau terlalu direlakan, nanti juga akan tertiup angin dengan mudah. Tetapi kalau terlalu digenggam erat, pasir itu akan berjatuhan di sela sela tangan. Harus ada seni merelakan-perjuangkan di situ. Seni itu kemudian harus dibalut dengan perengkuhan akan realita dan fokus pada solusi atau langkah yang harus ditempuh demi membangun relasi yang lebih baik.
.... Ya, malam ini aku makan bersama dengan keluarga di Semarang. Makan di salah satu tempat legend bernama Ayam Goreng dan Sop Buntut Pak Supar (est. 1974). Aku makan beberapa kotak daging sop buntut, 1 ayam berminyak, dan secara nggak sadar sudah ambil 3 rempela yang berminyak juga. Aku punya kolestrol yang cepat tinggi.. dan... sehabis makan, langsung tegang-pusing-semi lemas. Secepat itu! Karena memang begitu berminyak. Mulailah aku berkata-kata dengan orang dekatku, seperti koko...
"Hah, makan 3 rempela? Tak pikir tadi cuma makan 1?" "Ya.. udah tau kalau habis makan begitu, kolestrol tinggi, yasudah, kan berarti tidak boleh makan minyak sama sekali.."
Another kebodohan yang kulakukan hari ini, makan minyak berlebih. Tapi sungguh, bikin nagih dan enak. Kapan lagi kan ya makan beginian? Apalagi pilihannya makan bareng keluarga cuma ini. Ya makan gapapa, kalau memang menunya itu, tetapi.... porsi yang aku makan terlalu banyak.
Ketika berjalan, ada kucing. Aku suka kucing. Aku foto-foto kucingnya. Koko berkata, "Nah, ya kayak gitu itulho, sudah tau alergi bulu kucing, masih aja main-main sama kucing." (Dia memberikan penekanan, bahwa aku bandel, udah tahu kolestrol, makan masih ga tahu diri; udah tahu alergi, ga tahu diri juga... dsb dsb lainnya).
Dalam banyak hal kebodohanku... - karena memang terkadang aku lebih suka memberontak meskipun sudah tahu mana yang benar -... aku perlu memaafkan diriku lagi..// Nggak papa, hari ini gagal untuk menjaga diri, gapapa, bandel sedikit, gapapa. Besok kita berjuang lagi. Hehehe... iya sih, dalam hal ini memang harus merelakan, dan jangan sampai aku memarahi diri dan membodoh-bodohkan diri karena suatu kebodohan, sebagaimana yang kulakukan sebelum2nya. Tetapi perelaan ini tidak boleh berhenti pada kepasrahan belaka, harus ada perjuangan. Kalau memang sudah terlanjur, yaudah gpp. Tapi jangan lupa woi, perjuangan untuk melakukan yang benar, jaga makan, itu harus bener-bener diperjuangkan esok harinya. Kalau nggak gitu, ancur hidupmu, karena ga jaga makan yaaa.... sayangku, ivana aimee :))))!
Dalam hal seperti ini pun, perlu menempatkan seni merelakan dan memperjuangkan pada waktu yang tepat.
Relasipun juga begitu, mengejar mimpipun juga begitu.
Tau apa dan kapan harus merelakan; tau apa dan kapan harus memperjuangkan.
Ngomong apa?
Gitulah... semoga paham.
Comments