top of page
Search

Orang Tua adalah Anugerah


Waktu aku sedang memeriksa HP, aku menemukan tulisanku Maret 2021, tulisan yang sebentar lagi akan teman-teman baca. Aku rasa, tulisan ini merefleksikan hal yang cukup baik, jadi aku bagikan hehe.


Aimee, Mar 2021

Saya tinggal di sebuah keluarga yang cukup mapan dalam segi ekonomi, namun ibuku tetap bekerja demi mendapatkan pendapatan tambahan. Ayah saya adalah seorang karyawan swasta, sedangkan ibu saya adalah seorang pedagang makanan di depot suatu foodcourt, mereka melakukan pekerjaan yang sama hingga kini.


Dari anak kecil yang lugu, saya bertumbuh menjadi semakin besar, dan secara tidak sadar telah mengalami beberapa insecurities dikarenakan kondisi keluarga. Oke, berikut salah satunya, saya akan ceritakan sekilas. Ibuku sudah membuka depot semenjak aku kelas 1 SD. Awal mulanya, saya begitu semangat mendengar hal ini. Tetapi ketika saya memasuki jenjang SMP, waktu di mana anak belia mengalami 'masa-masa labil, gengsi' yang luar biasa, saya merasa tidak aman bila ada teman-teman sekolah yang mengetahui bahwa ibuku adalah seorang pedagang makanan.


Ketika saya SMA, saya mengambil keputusan untung membantu ibu saya menjual makanan dan minuman sesering mungkin karena suatu alasan. Dan pada saat itu juga, ada suatu gereja besar yang mengadakan ibadah di mal tempat ibu saya berjualan. Teman seangkatan dan kakak kelas dari sekolah saya juga banyak yang beribadah di gereja tersebut. Saya menyadari bahwa saya merasa malu bila saya ketahuan membantu orangtua saya membuka depot (kadang ayah saya juga membantu depot saat weekend). Saya berusaha untuk tidak malu, namun ketika saya melihat teman saya yang sudah berdandan siap ke gereja, saya langsung berusaha menyembunyikan muka. Entah akhirnya saya masuk ke dapur, atau mungkin sengaja pergi ke toilet.


Ada waktu lain di mana orangtua saya menyuruh saya untuk mempromosikan depot tersebut melalui akun instagram, namun saya dengan enggan langsung menolak. Sosial media yang kerap menunjukkan hanya sisi kebaikan dan sukses-nya seseorang juga secara tidak langsung memengaruhi mental saya menjadi mental yang sangat suka 'jaga image' dan kurang apa adanya.


Namun, semakin diri ini mengalami proses pendewasaan, saya akhirnya menyadari, tidak semestinya diri ini malu akan hal tersebut. Bila teman saya memang adalah teman yang sebenarnya, maka ketika mereka mengetahui temannya ini membantu orangtua membuka depot, mereka tidak akan meremehkan saya. Dan benar demikian, pada tahun akhir SMA, ada beberapa teman saya yang mengunjungi depot orangtuaku selepas/ sebelum beribadah, hal ini lumayan melegakan.


Yang saya sadari baru-baru ini adalah, selama orangtua kita bekerja dengan kerja keras dan benar (jujur), maka tidak ada yang bisa membuat kita malu akan kondisi keluarga (bagaimanapun itu). Aku belajar bahwa jadi manusia itu harus apa adanya, karena ketika menjadi tidak apa adanya, beban yang diemban terlalu berat dan tidak pada tempatnya... buat apa demikian? Malah menyusahkan diri sendiri.


Ketika saya lulus SMA, saya juga baru sadar, bahwa sesuatu yang sebelumnya saya anggap baik itu dikarenakan banyak orang berkata bahwa hal tersebut adalah hal yang baik (Di sini saya tidak berkata mengenai moral, namun dalam perihal pandangan mengenai pekerjaan dan pendidikan, dan sebagainya). Misalnya, secara tidak langsung, saya merasa bahwa meraih pendidikan kuliah adalah hal yang 'lebih baik' daripada tidak berkuliah, karena saya dikelilingi oleh teman-teman yang bisa dibilang bermodal untuk berkuliah. Padahal, sekolah SMK, atau langsung bekerja setelah SMA juga adalah hal yang tidak kalah baiknya dibanding dengan langsung berkuliah.


Meskipun teman-teman saya memiliki orangtua yang gaul, dan mungkin lebih berduit, yang mengantar anaknya dengan mobil bagus, dan sebagainya, bukan berarti saya memiliki orangtua yang demikian berarti adalah hal yang tidak baik atau karenanya kita patut merasa malu! Justru saya memiliki orangtua yang demikian, itulah yang paling baik bagi hidup saya personal. Inilah orangtua yang dianugerahkan kepada saya, dimana melalui mereka dan pengalaman yang saya alami dengan mereka, saya bisa menjadi diri saya yang paling baik. Justru karena keadaan orangtua saya, dan kejadian2 tersebut-lah sehingga saya bisa menjadi saya yang kini.


Bila berkata tentang insecurities dalam/dikarenakan keluarga, pasti ada banyak sekali. Bahkan dari sifat personal masing-masing individu dalam keluarga saja, dapat membuat saya menjadi insekyur loh. Misalnya bapak saya dalam hal berbicara, terbiasa ngotot, dan ini juga memicu saya merasa tidak aman. Apalagi kalau dia bertingkah demikian di depan kawan saya atau publik, saya akan merasa lebih tidak aman lagi. Misal ibu saya, ketika membuka depot, mudah sekali marah dan tensinya naik. Apabila teman saya datang melihat itu, saya entah kenapa juga merasa sungkan dan 'tidak aman'. Banyak aspek yang membuat saya khawatir bahkan dalam hal yang keliatannya 'sepele' dalam berkeluarga..........


Namun pada akhirnya, saya tetap pada pandangan ini, bahwa orangtua adalah anugerah Tuhan, pekerjaan yang mereka lakukan sekarang jugalah sebuah anugerah Tuhan, keterbatasan dan kepintaran serta sifat mereka pun adalah anugerah Tuhan. Bersyukur dan belajar mengerti mereka adalah suatu pilihan, menjadi malu akan keadaan sesungguhnya dan tak acuh terhadapnya adalah suatu pilihan lainnya. Kalau saya pribadi, saya mau belajar menerima mereka sebagaimana mereka ada sekarang, serta mau belajar untuk lebih mengerti mereka. Sungguh, ini bukanlah hal yang mudah, namun sekali lagi, saya mau belajar..... karena saya bersyukur atas mereka. Mereka tidak sempurna, namun dengan segala keterbatasan mereka, mereka adalah orangtua yang sempurna bagi pendewasaan hidup saya. Orang tua, memang, adalah anugerah dari Tuhan.


Kalau ternyata ada teman-teman pembaca yang tidak betul merasakan kehadiran "orang tua", mungkin ada wali yang Tuhan kirimkan, juga untuk kita syukuri....... hmmm

 
 
 

Comments


I Sometimes Send Newsletters

Thanks for submitting!

bottom of page