Pulanglah dalam Damai
- Ivana Aimee
- Mar 28, 2024
- 6 min read
Minggu ini, kami mahasiswa/i STT Aletheia menjalani Holy Week. Hari Rabu kemarin, terdapat kegiatan Jalan Salib. Dalam perjalanannya, kami diberikan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan 10 Hukum. Jalan Salib ini dilakukan dengan cara mengitari kampus kami. Suasana begitu gelap. Sejenak, ketika aku menengadahkan kepalaku ke atas, aku melihat bintang yang begitu terang bersinar di mana-mana. Entah, kalau melihat akan bintang-bintang yang bertebaran di langit sana, aku seperti langsung merasakan akan hadirat Tuhan yang kuasa.
"Allah yang mulia.... sedang akan menyampaikan isi hati-Nya padaku... lagi.....
ijinkan aku mendengar suara lembut-Mu...."
Kemudian, dari sejak sebelum ibadah pembuka bahkan sampai perjalanan Salib.... lagu "aku mau menjadi Murid Kristus... aku mau jadi lebih kudus.." terngiang-ngiang dalam otakku.. Ya... meskipun tidak sedikit waktu aku gagal menjadi murid Kristus yang setia, tetapi aku mau untuk dibentuk menjadi murid Kristus yang sungguh.
Di awal perjalanan, aku menerima obor yang menyala di tanganku. Barang bawaanku (seperti biasa) terlalu banyak. Hal ini begitu membebaniku. Kami diarahkan untuk menulis perenungan kami berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Tetapi tanganku begitu penuh, dengan kertas, botol, dan alat2. Akhirnya aku memutuskan untuk sebisa mungkin menyimpan semua barang di kantong dan berfokus saja untuk merenungkan hal-hal yang perlu direnungkan. Aku pikir..... ada banyak hal dalam hidupku yang mungkin membebaniku, sehingga aku tidak bisa benar-benar berkontemplasi akan maksud dan kebenaran-Nya.
Dalam perjalanannya, oborku sempat mati. Pada awalnya aku masih ingin untuk menyalakannya. Tetapi, sampai di jalan tertentu, aku pikir, sudahlah biarlah apinya padam saja.... ini adalah bentuk ratapanku atas dosa, kelemahan, dan kegagalan diri. Kegelapan, mengingatkanku bahwa dosaku begitu pekat.... sudah sepatutnya aku meratapinya.
Spot satu hingga sepuluh sudah aku langkahi. Kemudian aku akan masuk ke ruangan anugerah (gedung Sola Gratia), yang mana kami diarahkan untuk mengaku dosa dengan berlutut. Sebelum masuk ke ruang anugerah. Aku menyempatkan diri untuk menulis di kertas pertanyaan-pertanyaan tadi. Rupanya, dosa, kegagalan, dan kelemahanku banyak sekali. Tidak jarang aku menduakan Tuhanku, tidak jarang aku memautkan hatiku pada yang lainnya. Tidak sadar, aku juga sudah menyakiti anggota keluargaku, baik yang secara biologis maupun yang di dalam Kristus. Aku meratapi itu semua. Mengapa diri ini begitu lemah dan tidak mampu menjadi murid Tuhan? Aku menyadari... betapa aku butuh anugerah Tuhan.
Sampailah aku ke ruangan anugerah. Di sana, aku ijin kepada Tuhan tidak berlutut, kakiku memang sedang lemas karena perihal sakit misterius yang sudah menggerogotiku dari awal tahun ini. Aku ingin berlutut, tetapi pada saat itu, masih terasa lemas dan masih kurang mampu. Sehingga aku tidak melakukannya. Berlutut bahkan tersungkur di bawah Salib Kristus, memang adalah hal yang perlu dilakukan.... aku mau menundukkan hatiku, hidupku seluruhnya pada-Nya. Dalam doaku, aku menyebutkan semua yang sudah ku tulis. Aku memohon akan belas kasihan Allah.
Setelah selesai, aku menuju ke kursi paling pojok, aku merasa terisolasi dan memang mau mengisolasikan diri. Wajar, sedang dalam posisi kotor begitu, bagaimana aku bisa menggabungkan diri dalam khalayak?
Setelah semua selesai mengakui dosa, terdapat pendeta yang menyampaikan kata-kata.... untuk merenungkan kembali semua. Suara pendeta tersebut dari lembut menuju keras, tetapi seperti bergetar karena ia menunjukkan dirinya seperti orang yang sedang meratapi akan dosa kita semua. Aku menangis, ndak tahan. Banyak hal aku lakukan yang rupanya menodai tubuh Kristus. Banyak sikapku yang rupanya menyakiti sesamaku tanpa aku ketahui. Banyak hal... kasihku tidak sempurna! Kasihanilah aku, ya Allah.
Aku mengingat bahwa dalam perjalanan kehidupan kita, ada banyak obor-obor yang Tuhan sediakan melalui pertanyaan-pertanyaan di sepanjang jalan, untuk membawa kita kepada Allah. Tetapi bahkan dalam hal inipun, oborku padam. Sungguh, begitu lemah, aku tidak bisa mengerti apa maksud Tuhan. Meskipun demikian, di sepanjang jalan, selalu ada setitik cahaya yang menuntunku menuju gedung anugerah tersebut. Barulah di dalam gedung anugerah tersebut ditunjukkan cahaya-cahaya yang membentuk salib Kristus. Terang itu bersinar dalam kegelapan, dan tidak pernah padam. Aku mau agar hidup di dalam terang itu......
Setelah perenungan itu. Pendeta ini kemudian menyatakan, "Pulanglah dalam damai sejahtera di dalam Tuhan." Semakin aku menangis menjadi-jadi. Kok bisa? Setelah banyaknya dosa yang aku lakukan, aku disuruh pulang dalam damai sejahtera? Yang benar saja? Gila kah? Aku ndak paham!.......
Secepat itukah...? Kasih Kristus...? Dia sudah melupakan dosa dan kegagalanku kah? Secepat itukah Tuhan sudah mengampuni dan berahmat padaku?
Aku hanya bisa menangis terisak-isak, karena aku tahu aku tidak sepatutnya mendapatkan kemurahan seperti ini. Aku pernah mengeluh akan kesatuan tubuh Kristus yang tidak ideal dan penuh dengan luka di dunia. Tetapi siapa sangka? Aku juga menjadi salah satu pelakunya. Ini menyedihkan. Sangat menyedihkan.... tapi Tuhan mau mengampuniku.......????
Pendeta itu mendekat ke arahku dan bertanya, "Aimee, aman..?" Aku jawab aman. Barulah kemudian aku bergumul lagi dengan Tuhanku.
Dalam perjalanannya, Tuhan seperti berkata kepadaku dalam hati (aku percaya ini Roh Kudus)....
"Pulanglah dalam damai sejahtera. Memang sepertinya tidak masuk akal. Tetapi inilah, yang Kuberikan berbeda dari yang dunia berikan. Dalam kehidupan menjadi anak-Ku di dunia, memang ketika kamu sudah berdosa, maka dampak dosa itu tidak serta merta langsung hilang. Dampak dosa itu bisa jadi akan terus menjadi tantangan hidupmu. Meskipun demikian, dalam segala prosesnya, Aku menyertaimu. Engkau bisa menjalani itu semua dalam damai sejahtera yang Ku berikan padamu." Aku mengerti. Ya...
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara teriakan. Aku keluar, dan tidak turun dari gedung tersebut (gedungnya lantai 3). Dia menangis karena meratap akan dosanya, rupanya. Dia menangis,... dia berkata.. "Siapa aku iniiiiiii????" Aku mau memeluknya, tetapi sudah banyak orang di sekitarnya yang memeluknya dan menenangkannya. Yang kulakukan akhirnya hanya bisa ikut menangis di sampingnya sambil berdiri.
Memang ya, kita semua manusia hanyalah makhluk yang penuh dosa!
Sungguh tidak layak! Siapa kami di hadapan-Mu ya Allah?
Aku sedih, hanya bisa menatap langit. Allah yang mulia menyampaikan pesan-Nya padaku.
Dalam larutnya pikiranku akan keberdosaanku dan manusia, seorang perempuan mendekat kepadaku dan menepuk pundakku. Ia adalah sahabatku, orang yang aku kasihi, tetapi yang kepadanya aku juga pernah menyakiti. Ia justru ada di sebelahku untuk menenangkanku. Sungguh aku terharu.. belas kasih Allah begitu terasa.
Kemudian, pendeta tersebut keluar dan mengarahkan aku untuk turun. Namun, aku ijin masih tetap di atas. Dalam keheningan itu, pendeta itu berkata-kata kembali. Sampai satu titik, aku menyampaikan keherananku bahwa aku disuruh pulang dalam damai sejahtera?... Beliau pun menjelaskan, dunia tidak bisa mengerti akan kasih dan anugerah Tuhan yang demikian. Inilah anugerah Allah. Beliau menjelaskan, ada banyak dark side manusia, setiap orang pasti punya..... dalam semuanya ini, Tuhan berahmat dan terus memproses kita.
Keheningan pun menyelimuti kami lagi.
Pada waktu itu, aku pun terlintas, akan Yesus.
Aku berkata kepada beliau, "Kadang,.. pingin ya kalau bisa bertemu dengan Yesus secara fisik. Maksudnya, kalau-kalau Dia ada di sini secara fisik, di tengah keadaan kita manusia yang mengalami ini dan itu, apa ya yang akan Dia lakukan.."
Pendeta inipun menyampaikan bahwa ia pun mendambakan agar bisa bertemu dengan Yesus, berbincang dengan Yesus secara verbal. Bisa merasakan melalui panca indera akan sosok Yesus. Tetapi, ya memang pada saat ini kita masih belum dapat bertemu.
Aku pun teringat akan renungan hari ini yang disediakan oleh seksi kerohanian, yang terambil dalam Yohanes 16:1-16, berkaitan dengan Roh Kudus. Penolong yang lain. Meskipun secara fisik, masih belum bertemu dengan Yesus, tetapi Roh Kudus ada dalam hati kita.
Setelah itu, terjadi suatu adegan lain. Keluarlah satu laki-laki yang pengakuan dosanya begitu lama di ruang anugerah. Ia sepertinya adalah orang terakhir yang keluar dari sana sehabis pengakuan. Ia datang kepada pendeta ini. Pendeta ini langsung menghadangnya, menyediakan dirinya untuk memeluk lelaki ini. Lelaki ini hanya bisa masuk dalam rangkulan sang pendeta. Pendeta ini seperti ayah baginya. Aku mengerti lelaki ini memang pendiam, semua-semua sepertinya ia pendam sendiri. Hanya pada saat itu, aku melihat ia begitu rapuh. Ia dengan tetap posisi tangan terkulai ke bawah dan kelesuannya, masuk dalam rangkulan 'ayah'. Lelaki ini pun menangis terisak-isak. Aku.. sekali lagi... merasa ikutan sedih...
Pagi ini, aku menyadari. Merasakan kehadiran Yesus secara fisik, mungkin masih belum bisa. Tetapi peristiwa lelaki itu menangis dalam rangkulan sang pendeta membuatku berpikir kembali. Kasih Yesus secara fisik bisa aku rasakan di dalam anggota tubuh Yesus. Mungkin aku tidak bisa merasakan pelukan-Nya langsung, tetapi melalui teman-teman yang menepuk bahuku, memelukku dari samping, aku mengerti Allah sedang menyapaku dan memelukku begitu rupa........ puji syukur pada Allah.
Malam itu, aku juga digerakkan untuk membahas sedikit hal dengan salah satu sahabat yang tadi aku sempat sebutkan. Aku percaya ia mengasihiku... dan aku pun mengasihi dia.... Aku meminta maaf atas kebodohanku yang justru menunjukkan bahwa memang kasihku tidak sempurna. Aku berbincang dengannya, dan berdoa dengannya di hadapan Bapa yang penuh rahmat. Kami anak-anak perempuan-Nya sedang berusaha untuk merajut kembali relasi atas persetujuan Bapa yang penuh kasih.... terima kasih.
Ini panjang sekali, tetapi.. memang begitu berkesan.
Aku kembali ke kamar dengan raut wajah senyum di muka ku.
"Aku bersyukur.. aku bisa pulang dengan damai.... karena Kristus sudah mengampuniku..."
“It would be nice and fairly nearly true, to say that 'from that time forth, Eustace was a different boy.' To be strictly accurate, he began to be a different boy. He had relapses. There were still many days when he could be very tiresome. But most of those I shall not notice. The cure had begun.”
― C.S. Lewis, The Voyage of the Dawn Treader
Seperti itulah. Eustace juga memiliki masa lalu, ia sempat menjadi naga yang jelek, fokus pada dirinya sendiri, dan bahkan terluka. Tetapi Aslan mengubah dirinya.... ia akhirnya menunjukkan perubahan hidupnya karena telah mengalami belas kasih Aslan. Aku pun mau demikian.
Comments