Panggilan Menjadi Hamba Tuhan
- Ivana Aimee
- Feb 17, 2021
- 11 min read
Updated: Apr 27, 2021

Photo by Jon Tyson on Unsplash
Semenjak pertama kali saya dengan sungguh menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi, saya sudah mendapati dalam hati saya suatu kerinduan yang besar untuk melihat banyak orang dapat menerima keselamatan yang dari pada Allah yang sejati. Awal-awal saya percaya pada Tuhan, saya sering menceritakan mengenai pengalaman saya bersama Kristus kepada teman sebaya saya. Yang saya rasakan dalam hati saya ketika berbagi mengenai Yesus dan melihat ada teman-teman yang akhirnya juga dapat mengalami Tuhan dalam hidupnya adalah perasaan sukacita dan damai sejahtera, suatu perasaan yang tidak akan bisa saya peroleh dari dunia. Saat itu, saya mempunyai kerinduan agar Ia pakai saya menjadi perpanjangan tangan kasih-Nya, agar banyak anak muda dapat mengalami dan mengenal Tuhan, agar ada banyak jiwa-jiwa yang dimenangkan.
Pada Juni 2016, saya mengikuti retret - Clan of Christ - yang diadakan oleh STT Aletheia. Pada malam KKR itu, saya maju ke depan dan menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan. Sesaat sebelum saya maju ke depan, saya ingat pengkhotbah tersebut berkata kurang lebih seperti ini: Siapa yang merasa terpanggil untuk menjadi hamba Tuhan silahkan maju ke depan untuk meresponi. Awalnya, saya enggan untuk maju karena merasa hal ini tidak harus dan adalah hal yang memalukan untuk maju ke depan di hadapan beberapa kawan yang memang pernah saya kenal sebelum dari retret. Namun ada sesuatu dalam hati saya yang begitu menggebu, yaitu saya ingin dipakaiNya lebih lagi. Saya ingin meresponi panggilanNya. Hidup saya untukNya. Saya yang biasanya bertingkah penakut, kala itu saya mendapatkan kekuatan dalam hati saya. Dalam hati saya dipenuhi perkataan lembut dengan penuh kegentaran dan penyerahan.. “Ayo maju, Ayo maju.” Kaki saya yang enggan bergerak pun akhirnya menetapkan langkahnya dan maju ke depan. Saya berlutut di hadapanNya menyerahkan diri saya untuk menjadi hamba Tuhan. Saya menangis deras tanpa peduli lagi dengan teman-teman yang melihat saya, tidak lagi peduli ada siapa saja yang maju, juga tidak terlalu perhatian dengan siapa yang mendoakan saya, yang saya tahu adalah saat itu saya berada dalam hadiratNya dan saya menikmatiNya. Saya merasa panggilan ini adalah suatu hak istimewa yang Tuhan berikan.
Ketika Altar Call sudah selesai, saya kembali ke tempat duduk dengan hati yang masih berdegub kencang. Saya berpikir, “Apa yang baru saja saya lakukan?” Akhirnya saya juga menerima satu lembar kertas kecil berisi komitmen saya. Pada lembaran kertas tersebut tertulis tiga hal: Saya menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan & Juruselamat pribadi; Saya menerima panggilan untuk menjadi HT full time; Saya berkomitmen untuk melayani Tuhan dengan berdoa, membaca FT dengan setia, persembahan dan mengabarkan Injil. Dari ketiga urutan di atas saya dengan yakin mencentang nomor 1 dan 3. Sedangkan bagian nomor dua saya coret tulisan “full timer” lalu saya centang kotaknya. Saya ingat saya menulis nama dengan tulisan yang acak-acakan hanya supaya mengantisipasi STT ini benar-benar akan menghubungi kontak yang saya tulis di kertas tersebut untuk menagih ‘janji’ saya. Intinya, saya sangat ingin melarikan diri dari keputusan saya ketika Altar Call.
Sepulang dari retret, orangtua saya pun akhirnya mengetahui hal ini. Pada kala itu saya sangat malu mengakui hal ini di hadapan orangtua saya. Kala itu, saya yang masih berumur hampir 15 tahun, dan mempunyai stereotip dalam benak saya bahwa menjadi pelayan Tuhan atau pendeta di gedung gereja itu tidak keren sama sekali, bahwa mereka cenderung tidak bisa membaur dan sangat kaku serta tradisional. Saya sangat percaya bahwa hamba Tuhan adalah bagi setiap orang yang sudah dibebaskan dari dosa, dari hamba dosa, menjadi hamba kebenaran, lalu secara otomatis juga menjadi hamba Kristus. Mengetahui hal ini, saya berusaha membenarkan diri saya. Pada saat itu saya berpikir, saya maju ke depan untuk menyerahkan diri saya dipanggil menjadi hamba-Nya, dan Tuhan tidak harus menempatkan saya di ladang gerejawi dan tidak harus sekolah di STT Aletheia (Karena pada kala itu, saya yang masih kecil mendengar pendeta yang memimpin Altar Call berkata mengenai STT tersebut, dan berkata ini adalah janji, dan berbagai kalimat panjang lainnya). Saya juga berkata, bila saya sudah menyerahkan diri tapi Tuhan tidak pakai saya di lingkup gerejawi, maka hal tersebut adalah hal yang menguntungkan bagi saya. Keadaan seperti itu kurang lebih seperti saya membatasi Tuhan dengan berkata bahwa saya hanya akan mau meresponi panggilanNya bila Ia menempatkan diri saya sesuai ladang yang saya ingini. Saat itu saya menggunakan pemikiran yang baik menjadi pembelaan diri yang tidak tahu diri di hadapanNya.
Waktu terus berlalu, dan saya dibawa untuk semakin cinta padaNya. Namun saya masih memiliki hati yang keras mengenai panggilan, dan sangat tidak ingin untuk menjadi pendeta, atau pelayan Tuhan yang selalu berada di rumah-Nya. Saya sangat banyak ingin-nya dibanding berserah-nya, seperti memberikan syarat dan ketentuan bagi Dia agar saya dapat melayaniNya, padahal hidup yang saya punyai inipun adalah anugerah yang tidak akan pernah bisa saya balas, saya sungguh keterlaluan. Namun Tuhan sangat sabar untuk memperbarui pemikiran dan pengertian saya serta membentuk saya (Puji Tuhan!).
Suatu saat saya pergi ke salah satu kebaktian di gereja yang ada di Lawang bersama dengan sepupu saya. Kala itu, ada permainan tanya jawab Alkitab, dan saya dapat menjawab jawaban yang tepat di mana orang lain bahkan tidak tahu jawabannya. Saya merasa angkuh. Lalu seketika, ibu pembimbing ini memulai percakapan dengan saya dan bertanya saya besar ingin jadi apa. Lalu saya menjawab, saya tidak ada ketertarikan lain selain untuk bersekolah di sekolah teologi. Lalu pembimbing tersebut berkata,”Ketika kamu mau menjadi hamba Tuhan/bersekolah teologi, itu bukan karena suatu ketertarikan saja, yang paling penting adalah apakah itu memang benar adalah sebuah panggilan yang Tuhan berikan padamu?” Saya berpikir keras, apa benar itu panggilan saya? Lalu seperti waktu-waktu sebelumnya, saya malas untuk memikirkannya kembali.
Ketika saya naik SMA, saya mengajukan diri untuk menjadi panitia Kristen di sekolah yang akan mengurus hal-hal seperti: bina rohani yang diadakan setiap bulan, dan retret sekolah. Hal ini mengajarkan saya banyak hal. Mulai dari guru agama yang tidak jelas, panitia yang pelayannya hampir sama sekali tidak niat, dan seterusnya. Hal ini membuat saya gemas. Ketika saya naik kelas 2 SMA, saya bertemu dengan satu teman lagi yang baru bertobat dan mengenal Kristus. Suatu saat, teman saya ini mengajak saya untuk mengikuti ‘Menara Doa’. Menara Doa diadakan 2-3 kali seminggu setiap istirahat makan siang. Saya yang tidak berani ambil resiko (karena sekolah saya adalah sekolah swasta) dan malu, sangat ingin menolak, namun akhirnya saya ikut juga. Saya menyadari, mengikuti Menara Doa tersebut adalah hal yang saya sangat syukuri. Ketika kakak kelas yang mengikuti Menara Doa sudah lulus, hanya tersisa kami bertiga yang menjalankan Menara Doa tersebut. Karena tidak ada tempat yang layak, kami bahkan sempat berdoa di salah satu gudang sekolah yang sesak dan pengap. Meskipun demikian, kami sangat menikmati hadiratNya dan tetap tekun berdoa bagi sekolah.
Berbulan-bulan telah berlalu, kami bahkan dapat mengajak teman untuk ikut, dan banyak yang merasakan Tuhan dalam hidupnya, lalu hidupnya diubahkan. Saya juga sadar, justru hal ini adalah hal yang menjadi kebanggaan saya, bukanlah sesuatu yang atasnya saya bisa merasa malu. Kala itu, saya belajar untuk tidak malu mengakui Kristus di hadapan orang banyak. Melalui Menara Doa, dan acara bina rohani, serta retret sekolah, saya sangat merasakan peperangan rohani yang tidak henti-hentinya terjadi di kalangan anak remaja sekolah kami. Ketika menjadi panitia retret, Tuhan melakukan hal yang luar biasa kepada teman-teman sebaya saya, hal ini sangat membuat saya terharu dan bersukacita! Saya mau bekerja denganNya lebih lagi untuk membawa orang kepadaNya, sang sumber kehidupan.
Pertengahan tahun 2018, saya mengikuti salah satu retret lagi yang diadakan oleh STT Aletheia. Saya sudah cukup usia untuk mengerti berbagai macam hal yang dikhotbahkan dan dikatakan. Retret PLEASE 2018 menjadi sangat berkesan bagi saya. Saya baru sadar ketika mengingatnya kembali, selama outbond, Tuhan seperti menggembleng saya perihal keluar dari zona nyaman untuk mengikuti panggilanNya. Mungkin bagi teman-teman lain outbond ini adalah hal yang menyenangkan, tapi bagi saya outbond kala itu membuat saya berdegub kencang karena pelajaran-pelajaran dariNya. Setiap game yang ada, seakan-akan Tuhan berbicara kepada saya secara pribadi.
Permainan outbond yang paling mengena adalah permainan mencari mereka yang hilang dan buta. Kami sekelompok ditutup matanya, lalu harus mengikuti tali-tali yang ada demi mendapatkan jalan keluar (kala itu, jalan keluarnya adalah kayu salib). Setelah perjalanan memutar yang lumayan membuat bingung peserta akan kapan berakhir permainannya, akhirnya saya dipertemukan dengan kakak panitia yang membawa kayu salib tersebut. Kakak tersebut bertanya,”Kamu memiliki dua pilihan, kamu mau keluar dari arena ini, atau mencari temanmu yang lain?” Ia berkata sambil memberitahukan resiko poin yang berkurang dan bertambah mengenai kedua pilihan. Kala itu saya mendengar teman-teman sekelompok saya berkata, “Sudahlah, keluar arena aja, lebih aman kalau begini.” Akhirnya saya mengeluarkan diri dari arena dan melepas penutup mata saya. Saya sangat kaget dan tercengang, ternyata masih ada separuh lebih teman sekelompok saya yang belum keluar dari arena, saya menyesal karena tidak berani mengambil resiko dan bermain aman. Kala itu, ada satu teman sekelompok saya yang juga diperhadapkan dengan kedua pilihan tersebut, dan keputusan yang ia buat adalah, untuk mencari mereka yang terhilang dan membawa mereka pada jalan keluar. Saya melihat sendiri, pada akhirnya semua anggota kelompok saya yang lain dapat keluar dari arena karena dipimpin oleh satu orang itu yang sudah menemukan jalan keluar terlebih dahulu dan berani untuk mengambil resiko.
Di situ, saya merasa bahwa Tuhan menegur saya dengan sangat keras, hingga saya mencucurkan air mata. Karena permainan dan respon saya terhadapnya menunjukkan keadaan spiritualitas saya secara pribadi. Saya seringkali takut keluar dari zona nyaman – yang menurut saya merupakan sebuah tempat yang aman - untuk pergi menjangkau mereka yang terhilang. Perjalanan outbond dilanjutkan dengan banyak kegagalan saya yang lain, yang sangat menunjukkan spiritualitas saya. Hingga pada malam harinya, kami peserta PLEASE 2018 menonton suatu film berjudul “Hacksaw Ridge”. Sekali lagi, saya merasa terharu, karena respon tokoh utama dalam film tersebut dalam menghadapi panggilanNya melalui pekerjaannya sebagai tentara medis. Ketika semua tentara memilih untuk turun dan tidak lagi berada di arena peperangan dengan tentara Jepang, tokoh ini berkata kepada Tuhan untuk mengirimkan orang yang bisa dia tolong, dan Tuhan mendengar tokoh tersebut dan memberikan tanda. Akhirnya tokoh ini menyelamatkan orang satu per satu, ia terus mendengar teriakan minta tolong satu per satu, ternyata masih ada banyak orang yang masih hidup namun tergeletak karena tidak bisa bergerak lagi! Dikarenakan oleh tokoh pemuda ini, banyak tentara yang seharusnya mati kehabisan darah dapat terselamatkan! Bahkan musuhnya sendiri ia selamatkan, seorang tantara Jepang!
Saya berpikir pemuda ini rela untuk mengambil resiko, dan membayar harganya untuk mengikut Kristus, bahkan meskipun nyawa taruhannya. Tuhan seperti menunjukkan kepada saya, bahwa seperti itulah yang Tuhan kehendaki, ketika saya mau meresponi Dia, meskipun saya tidak mampu dan terbatas. Di retret kali itu saya belajar untuk tidak menjadi penakut dan keluar dari zona nyaman saya, untuk meresponi panggilanNya pada saya dalam hidup ini untuk memberitakan Injil, sehingga rencanaNya dapat digenapi melalui saya.
Pada tahun 2018 juga, saya sempat melayani pujian pada saat ulang tahun pemuda remaja House of Pottery GKT Pondok Indah Surabaya. Kala itu ada salah satu pendeta yang datang dari luar kota untuk menjadi pembicara. Ketika semua pengurus dan pelayan maju untuk perayaan ulang tahun, ada bagian di mana MC bertanya kepada beberapa pembimbing/pengurus mengenai harapan bagi komisi pemuda remaja ini selanjutnya. MC ini juga bertanya kepada pendeta tersebut mengenai harapannya bagi komisi pemuda remaja ini. Saat itu saya tidak terlalu fokus, saya hanya mendengar beliau berkata, “Akan ada hamba Tuhan muncul dari komisi pemuda remaja ini.” Saya sangat mengingat hal ini karena pada saat itu, entah bagaimana, diri saya seperti mendapat pengertian bahwa apa yang beliau katakan adalah sesuatu yang sudah pasti terjadi. Saya merinding dan seperti mendapat peneguhan, hingga beberapa saat kemudian saya baru sepenuhnya sadar bahwa dia sedang mengucapkan sebuah harapan bagi komisi tersebut. Hal ini mungkin menjadi salah satu tanda yang tidak jelas mengenai Dia memanggil saya atau tidak, namun pada saat pendeta tersebut berkata demikian, saya merasa tercengang dan merinding, saya percaya ini adalah salah satu caraNya untuk membawa saya pada keteguhan yang penuh akan panggilan menjadi hamba Tuhan.
Saat tahun kedua dan ketiga di Sekolah Menengah Atas, saya sempat mengikuti kegiatan Live In, yaitu menumpang tinggal di rumah penduduk desa tertentu. Acara Live In ini memang berlaku bagi semua agama di sekolah swasta tersebut. Acara ini bukanlah sebuah retret, tetapi menjadi sangat membekas bagi saya. Live In pertama, saya melihat di desa tersebut, semua orang bukanlah seorang Kristen! Mereka masih menyukai hal-hal seperti tarian harimau kerasukan, permainan reog memakan ayam hidup-hidup, dan seterusnya. Hal ini berkaitan dengan roh jahat, dan sedihnya, mereka bahkan mengelu-elukannya! Ada banyak anak desa yang sangat menanti-nantikan penampilan reog itu. Live In kedua juga sangat membuat saya sedih, karena di sana mayoritas beragama Hindu, dan sedikit warga hanya beragama Islam. Saya sedih, karena tidak ada satupun orang yang percaya. Bahkan kalau ada satu orang yang percaya pada Kristus, tekanan lingkungan akan menjadi tantangan yang besar bagi dia. Saya sangat rindu untuk melihat kemenangan rohani terjadi bahkan bagi orang-orang yang sama sekali tidak ada akses kepada injil Kristus!
Waktu terus berlalu, saya sudah kelas 3 SMA. Saya harus menentukan apakah saya akan mengambil teologi atau tidak, dan seterusnya. Saya sangat ragu dan goyah, karena keluarga dan sahabat saya (yang di dalam Kristus) tidak begitu mendukung saya untuk mengambil kuliah di Sekolah Teologi. Orangtua saya memiliki ekspektasi yang lain, teman saya berkata saya lebih cocok mengambil jurusan lain seperti desain komunikasi visual, dan sebagainya. Kala itu saya tetap berdoa dan percaya padaNya. Hati saya telah Ia lembutkan, saya tidak lagi menyangkal penyerahan diri saya tahun 2016 lalu. Saya mau meresponi panggilanNya, dimanapun Ia menempatkan saya. Setelah beberapa bulan berlalu, saya mendapati bahwa yang dulunya orangtua dan sahabat terpercaya saya tersebut tidak menyetujui saya mengambil sekolah teologi, akhirnya mereka pun memberikan persetujuannya. Setiap orang bisa mendapatkan petunjuk berbeda dariNya dalam meresponi panggilan, tapi bagi saya, konfirmasi dari orangtua dan sahabat terdekat dalam Kristus menjadi suatu hal yang menjadi faktor peneguhan bahwa saya memang dipanggilNya untuk menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu, dan meneguhkan saya untuk mau dibentuk di suatu sekolah teologia setelah mengambil sekolah bahasa selama beberapa waktu di Tiongkok.
Ketika saya berada di Tiongkok, Tuhan membiarkan saya belajar banyak hal melalui pelayanan merawat seorang yang sebelumnya tidak saya kenal. Dia sedang menderita penyakit kanker dan adalah orang yang belum percaya dengan Tuhan. Di situ, saya mengajukan diri menjadi sukarelawan untuk merawatnya di rumah sakit pada hari-hari tertentu (hal ini membuat saya sekali lagi harus keluar dari zona nyaman dan ketakutan saya, kemudian memilih untuk berserah padaNya), dan saya diberi kesempatan untuk melihat perubahan pada orang tersebut, di mana akhirnya orang tersebut menjadi percaya kepada Tuhan Yesus beberapa waktu sebelum Ia dipanggil oleh Bapa. Saya merasakan sukacita dan damai sejahtera yang luar biasa ketika melihat orang tersebut kembali kepadaNya, dan tidak lagi terhilang! Sungguh, ketika seseorang percaya pada Tuhan dan bertobat, itu adalah mujizat paling dahsyat! Saya merasakan ketakutan di tengah-tengah negara komunis yang kental, dan keterbatasan saya untuk merawat orang tersebut, namun saya sadar bahwa ketika Allah menghendaki saya untuk melakukan itu, maka Ia akan menyertai dan menolong saya dari awal hingga akhir.
Pada Februari 2020 kepergian saya kembali ke Tiongkok batal dikarenakan ada pandemi, dan hal tersebut justru malah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti Open House di sekolah tinggi teologia tertentu. Acara tersebut mempertemukan saya dengan banyak orang yang bergumul untuk menjadi hamba Tuhan, dan menjadi suatu pengalaman yang meneguhkan saya lebih lagi mengenai panggilan saya menjadi hamba Tuhan, meneguhkan saya supaya mengikut Tuhan tidak ‘banyak maunya, syarat dan ketentuannya’. Saya sangat sadar bahwa masih ada banyak orang yang belum mengenal Kristus dari berbagai belahan dunia. Tuaian banyak, tetapi pekerja sedikit. Saya mau bekerja bersama Tuhan di ladang manapun yang Tuhan kehendaki saya untuk pergi. Asal bersama Dia, saya mau belajar untuk percaya, tidak takut, dan taat.
Waktu pendaftaran sekolah teologia tahun 2021 semakin dekat, saya sempat goyah dan merasa sangat tidak layak (memang tidak ada yang layak di hadapanNya, semua karena anugerah-Nya). Namun saya bersyukur karena Ia memakai banyak hamba Tuhan lainnya, entah dari gereja tempat saya berakar atau dari kerabat, untuk menguatkan saya sehingga saya bisa meneguhkan diri kembali untuk meresponi panggilan ini.
Pengalaman-pengalaman di atas adalah rangkaian peristiwa (yang menurut saya memberikan kontribusi signifikan) yang membuat saya semakin teguh bahwa Dia memang memanggil saya untuk menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu, dan semakin teguh untuk meresponi panggilanNya dalam hidup saya. Tetapi semua itu hanya karena anugerah-Nya semata sehingga saya akhirnya benar-benar mendapatkan keberanian dan keteguhan untuk mendaftar di STT Aletheia. Saya mau dibentuk, dan diperlengkapi menjadi pelayanNya sehingga saya bisa memperlengkapi jemaat untuk melayani-Nya dan jadi perpanjangan tangan kasih-Nya lebih lagi, sehingga banyak orang yang belum mengenal Kristus dapat mengenal dan percaya bahwa Ialah Tuhan dan Raja. Biarlah kehendak-Nya saja yang terjadi dalam hidup saya, karena ketika saya melakukan kehendak-Nya dalam hidup saya, saya mendapat kepuasan sejati. Saya mau mengikut Yesus di manapun Dia kehendaki saya untuk pergi. Tuhan yang memampukan, menolong, dan menyertai saya senantiasa.
Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan! Amin!
Comments