Back to Reality
- Ivana Aimee
- Dec 21, 2021
- 4 min read
Updated: Dec 22, 2021

Photo by Nathaniel Chia on Unsplash
Disclaimer: ini adalah tulisan jurnal random lainnya~
Gak terasa, satu semester sekolah teologi ku sudah selesai. Setelah masa-masa krisis, yaitu ketika aku mengalami kelelahan karena UAS dan perkara panitia natal, maka selesailah sudah UAS dan acara natal tersebut pada hari yang berdekatan, hingga akhirnya 11 Desember 2021 kemarin aku bisa segera balik ke Surabaya.
Aku ingat, 1 hari sebelum aku balik ke Surabaya, aku terharu begitu hebat karena penyertaan Tuhan selama satu semester ini. Awal pertama kali aku datang, yang ada di pikiranku yaitu "aku harus survive!" "bisakah aku?". Tuhan tau aku lemah, rapuh, dan butuh bantuan-Nya, dan ternyata selama semester ini begitu terasa jalan anugerah tersebut. Aku merasakan beberapa kali kemurahan Tuhan melalui sekitarku. Misal ketika menjadi sie acara natal, sebenarnya ada pertolongan dari tempat maha tinggi yang tidak kelihatan yang selalu menyertai sehingga kami dibuat 'bisa' melewatinya dan semuanya berada dalam jalurNya; ketika aku sempat sakit ada beberapa orang yang memerdulikanku, terutama ibu asrama; selama beberapa waktu di semester ini ada satu guru yang selalu menanyakan kabarku "Gimana aimee, aman-aman semua kah?". Penyertaan-Nya ada... melalui lingkungan, batin, dan orang sekitar aku dapat merasakan-Nya.
Ketika aku flashback, dan melihat kehidupan beberapa teman saya di sini, saya juga tersadar bahwa mereka memiliki ceritanya masing-masing, perjuangannya masing-masing, pergumulannya masing-masing, namun pada akhirnya Tuhan juga memampukan mereka untuk melewati berbagai musim dan rasa dalam satu semester ini. Kerennya, di saat yang sama aku merasakan Tuhan membentuk hidupku, di saat itu juga sebenarnya Ia sedang membentuk teman sebayaku, orang terdekatku, dan lainnya. Rasanya, hidup kita sebenarnya ga sepenting itu sampai-sampai Ia repot-repot membentuk kita (Yes, He loves us!).
Setelah perjalanan satu semester yang memiliki roller coasternya sendiri, liburlah diriku. Ketika aku kembali ke Surabaya..... Gak terasa juga, masa liburan bersama keluargaku begitu cepat berlalu. Hari pertama aku habiskan bersama teman dan beres-beres beberapa barang, hari kedua aku habiskan untuk ke gereja dan membantu orangtua di tempat berjualan mereka, hari ketiga, dan seterusnya.. ada saja yang dilakukan. Hingga kemarin lusa, kami sekeluarga berangkat ke Malang untuk berekreasi, gak nyangka waktu berjalan begitu cepat hingga aku sejenak lupa bahwa waktuku bersama mereka hanyalah sebentar. Meskipun hanya sebentar, hal ini adalah anugerah, karena aku diberi kesempatan untuk menikmatinya.
Namun di sisi lain, aku merasa sedih, karena memang orang-tua ku sudah semakin tua, dan aku tidak mengerti apapun terkait hari esok! Sebenarnya sungguh menakutkan bila tiba-tiba kehidupan memberimu semacam 'jump-scare'. Tetapi, ya.. begitulah kehidupan, siapa yang mengerti selain Yang MahaKuasa? Well, I actually really clear that I musn't be too much overacting like this, but this is the feeling i wanna feel at the moment.
Kini aku sedang di-karantina untuk beberapa hari ke depan, waktu yang baik untuk berkontemplasi dan memikirkan semua yang ada, memikirkan ulang hubunganku dengan Allah, dan keluarga, dan sebagainya, mempersiapkan diriku untuk peperangan yang akan datang.... aku sempat berpikir wah, saatnya aku 'back to reality' dengan pemikiran bahwa realita yang sesungguhnya adalah ketika aku harus kembali ke kampus, menuntut ilmu, dan sebagainya. Well, it's not wrong, but it's also not entirely true. Karena sejatinya, kita harus memaknai apa yang kita katakan. Benarkah kita berkata bahwa kembali ke sekolah adalah 'back to reality' sedangkan liburan bukanlah 'reality'??. Aku sangat paham, menurut beberapa orang liburan adalah masa-masa dimana kita 'berlari' dari kenyataan sejenak, tetapi... bukan begitu. Dengan aku berkata bahwa setelah liburan dengan keluarga aku kembali ke kampus dan aku mengatakan bahwa ini adalah 'back to reality', sebenarnya hal ini merupakan suatu ketimpangan.
Bila dipikirkan kembali, sangat tidak bersyukur bila aku menganggap realita adalah segala sesuatu yang 'melelahkan', yang 'membuat diri kita stres', dan sebagainya. Tidak demikian, sudah seharusnya kita mengembalikan kata 'realita' kepada pengaturan awal, bahwa realita mencakup berbagai macam hal terkait hari baik dan hari yang mungkin kurang baik. Hal ini juga berlaku, aku justru menganggap pergi berlibur dengan keluargaku adalah salah satu bentuk sukacita yang paling realistis, dan ketika aku menjalankan kuliah, aku akan menganggapnya sebagai perjuangan yang paling realistis, dan seterusnya.
Bahkan ketika aku kembali ke kampus, well I'm not going back into reality, because actually I have already been in the reality. What's important now is how we can cope the reality within The Lord's Saving Arm..? :)
Ya begitulah..
tadi aku habis bahas ketakutanku, keresahanku, ke-homesick-an-ku (padahal barusan aja kembali ke kampus), penerimaanku akan beberapa hal, dan beberapa komentar terkait realita....
Hm... btw tadi aku sempat menyinggung peperangan yah?
"Mempersiapkan diri untuk peperangan yang akan datang", ternyata kalimat ini kurang tepat, karena sejatinya setiap hari merupakan suatu peperangan.
Ya.
Tepat sekali.
Yang aku maksud adalah peperangan rohani.
Aku ingat beberapa saat sebelum liburan dimulai, ibu asrama pernah membawakan renungan dan ia mengungkit tentang pentingnya untuk waspada dengan kesantaian dan bagaimana dalam segala situasi kita harus selalu bertumbuh dalam doa dan Firman-Nya. Lengah sedikit saja, bisa dibantai!

Lawanlah godaan, jangan berdosa
Tundukkanlah setan, janganlah kalah
Lawanlah musuhmu,... (lupa)
Pandanglah Yesus agar selamat
Mintalah pada Tuhan agar dikuatkan
Yesus beri pertolongan sampai kesudahan
Baru saja aku sampai asrama hari ini lalu aku mengabari teman baikku bahwa aku sudah sampai, kemudian temanku mengingatkanku kembali akan hal krusial ini:

Oke sekian.
Jangan lupa.
Apapun yang kita sudah, sedang, dan akan alami adalah suatu realita, yang paling penting adalah bagaimana di dalam realita ini kita melewatinya bersama dengan Yesus?
Peperangan yang sesungguhnya terjadi tiap hari, bukan melawan darah dan daging, melainkan melawan kuasa kegelapan yang ada di dalam dunia, mari bersiap setiap hari, waspada dalam segala sesuatu, bertumbuh selalu dalam doa dan Firman Tuhan.
Orang yang menyadari bahwa kesehariannya, kesusahannya, keletihannya, kesenangannya adalah realita juga harus paham bahwa sejatinya realita yang paling tinggi adalah yang tidak kelihatan, yaitu Tuhan, dan peperangan rohani yang sedang kita alami.
Yang belum kembali kepada realita, marilah sama-sama kita memeluk realita agar mengerti kelak harus bagaimana.
Comments